05 April 2009

Menyikapi Anak Kritis

Anda tentu pernah menyaksikan iklan susu di layar kaca yang terasa sangat menggelitik. Digambarkan seorang bocah perempuan yang sedang menemani ayahnya nonton pertandingan sepak bola antara kesebelasan Jerman dan Brasil di televisi. Tak habis-habisnya si anak mengajukan pertanyaan tajam. Begitu melihat wasit mengenakan kostum yang berbeda dari para pemain, ia menanggapi, "Wasit itu temennya Jerman atau Brasil?" Lalu, saat ayahnya sibuk menjawab, ia terus mengejar dengan pertanyaan lain, "Jadi, Jerman sama Brasil itu jauh mana?"

Anda pasti akan geleng-geleng kepala menyaksikan ulah si anak kritis. Padahal, tukas Vera Itabiliana, Psi., geleng-geleng kepala saja tidak cuku, lo. "Orang tua harus bijak menghadapi anak seperti ini, sebab kalau sampai salah penanganan, kasihan anaknya," ujar psikolog dari Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Jakarta.

TIDAK TERGANTUNG TINGKAT KECERDASAN

Sebelum bicara lebih jauh, ada baiknya dipahami dulu mengapa ada anak yang cenderung bersikap kritis dan ada juga yang tidak. "Sikap kritis ini biasanya dominan saat anak berusia tiga tahun lebih. Di usia ini rasa ingin tahu anak sedang meluap-luap," ujar Vera. Kritis atau tidaknya seorang anak, sama sekali tidak tergantung pada tingkat kecerdasan. Bisa saja anak dengan taraf kecerdasan rata-rata lebih kritis dibanding anak dengan taraf kecerdasan jauh di atas rata-rata. "Yang paling menentukan adalah lingkungan di mana si anak dibesarkan. Dalam hal ini lingkungan keluarganya. Anak yang kritis biasanya adalah anak yang mendapat keleluasaan untuk mengemukakan pendapat. Si anak bebas mengeluarkan pendapatnya tanpa takut 'dibantai' atau dimarahi," lanjut Vera.

Selain itu, banyaknya rangsangan dari luar juga dapat membantu anak mempertajam kemampuan berpikirnya. Rangsangan dari luar ini dapat berupa informasi mengenai berbagai hal di lingkungannya. Informasi ini dapat diberikan oleh orang tua secara aktif melalui berbagai media, seperti buku, televisi, rekreasi ke tempat baru, dan sebagainya. Orang tua bisa membacakan cerita, menerangkan tentang tempat yang dikunjungi atau apa saja yang ditemui di lingkungan sekitar. Dengan begitu, diharapkan anak dapat terpancing untuk bertanya, karena bertanya merupakan salah satu dari wujud berpikir kritis, demikian Vera menggarisbawahi.

BAGAIMANA MENYIKAPINYA?

Jadi, kunci sikap kritis anak ada pada orang tua. Vera menyingkatnya dalam enam langkah agar daya kritis anak makin terasah.

  1. Kesabaran

    Kesabaran orang tua boleh dibilang memegang peran terpenting. Tanpa kesabaran, orang tua akan gampang bosan menjawab pertanyaan kritis anaknya. Padahal bukankah kebosanan menjawab identik dengan memadamkan hasrat anak untuk bertanya dan tahu lebih banyak?

  2. Kesiapan

    Mau tidak mau orang tua memang dituntut untuk harus selalu siap menghadapi reaksi anak mengenai berbagai hal yang sedang dilihat/dibaca/didengarnya. Dengan demikian, orang tua tidak akan merasa terkejut atau terganggu oleh sikap kritis anak karena bisa mengantisipasi sebelumnya.

  3. Sepakati Aturan Main

    Ketika akan bepergian ke suatu tempat baru atau melakukan kegiatan yang melibatkan banyak orang, semisal arisan, bank/kantor, pesta perkawinan, ada baiknya sepakati aturan main. Ini perlu karena bukan tidak mungkin sikap kritisnya akan "mengganggu". Ajak anak bicara tentang situasi yang akan ditemui dan perilaku seperti apa yang diharapkan darinya. Semisal tidak bertanya-tanya terus selagi orang lain bicara. Jika perlu, mintalah padanya untuk sementara waktu "menyimpan" pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, berjanjilah untuk membahasnya begitu sampai di rumah.

  4. Jangan Menunjukkan Respons Negatif

    Dalam hal ini, kemampuan orang tua untuk mengontrol dirinya sendiri memang diuji. Amat bijaksana bila orang tua tidak menunjukkan respons negatif atas sikap kritis anak, seperti marah atau kesal de-ngan membentak atau malah menyuruh anak diam. Tang- gapilah sikap kritis anak dengan positif. Tersenyumlah dan dengarkan pertanyaannya. Jika orang tua belum bisa menjawab pertanyaan tersebut saat itu juga, jangan sungkan untuk meminta anak menunggu Anda siap menjawabnya. Jangan lupa juga untuk menjelaskan kenapa pertanyaan tersebut belum bisa dijawab. Contohnya, "Wah... pertanyaanmu bagus banget. Mama senang sekali menjawabnya. Tapi sekarang Mama lagi sibuk masak. Gimana kalau Mama jawabnya nanti saja setelah masakannya matang. Soalnya kalau Mama enggak konsentrasi, nanti masakannya bisa gosong dan rasanya jadi tidak enak. Setuju?"

    Bisa juga orang tua menjawab 1-2 pertanyaan anak. Jika ia masih bertanya terus, jelas- kan kondisi orang tua yang sedang tidak memungkinkan untuk melayaninya. Tentukan kapan waktu yang dirasa pas untuk melanjutkan "diskusi" tersebut.

  5. Dengarkan Baik-baik

    Sebelum menjawab, dengarkan baik-baik dan pahami benar apa yang ditanyakan anak. Bahkan kalau perlu ajukan pertanyaan balik agar jawaban benar-benar memenuhi kebutuhan anak, selain untuk menghindari salah paham. Soalnya, pengertian/istilah tertentu bisa saja diartikan berbeda oleh anak. Misal, "pacaran" bagi anak adalah jalan bareng sambil berpegangan tangan yang tentu saja berbeda dengan pemahaman orang dewasa.

  6. Arahkan pada Penemuan Jawaban

    Untuk lebih melatih ketajaman berpikir anak, orang tua sebaiknya membimbing anaknya untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Caranya? Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada penemuan jawaban.

CUKUP JAWABAN SEDERHANA

Adakalanya pertanyaan anak kritis membuat orang tua gelagapan tak tahu harus menjawab apa yang ditanyakan si anak. "Ayah, CD (compact disc) itu terbuat dari apa, sih? Kok, dari benda setipis ini bisa keluar gambar di teve?" Tak banyak orang tua yang memahami hal-hal yang berbau teknologi canggih seperti itu. Menghadapi pertanyaan rumit seperti ini sebaiknya orang tua tetap mencoba menjawab.

"Serumit apa pun pertanyaan anak, belum tentu membutuhkan jawaban yang tak kalah rumit," tandas Vera. Pemikiran anak yang masih sederhana bisa terpenuhi dengan penjelasan yang menggunakan bahasa sederhana. Sederhana di sini tentu saja bukan jawaban yang asal-asalan. Untuk memudahkan, berilah ia perumpamaan dengan hal-hal yang dekat dengan kesehariannya. Kalaupun pertanyaannya terlalu sulit dan orang tua tidak bisa menjawab, "Sebaiknya berterus terang saja," saran Vera. Namun jangan puas untuk berhenti sampai di situ saja. Orang tua haruslah menawarkan alternatif solusi bagaimana jawaban atas pertanyaan itu bisa diperoleh.

Contohnya, "Wah, terus terang Papa belum tahu jawabannya. Bagaimana kalau kita cari sama-sama jawabannya di kamus atau ensiklopedi?" Atau, "Sayang sekali, ya, Mama enggak tahu jawabannya. Tapi nanti di kantor Mama coba tanya-tanya ke teman Mama atau Mama cari di internet, deh. Mudah-mudahan besok Mama sudah dapat jawabannya." Dengan demikian anak akan belajar memahami bahwa ketidaktahuan merupakan hal yang wajar. Selain itu, ia juga bisa mengerti bahwa seseorang yang tidak tahu dapat menjadi tahu dengan cara bertanya pada orang yang lebih tahu atau mencari jawabannya di buku pintar. Dengan demikian, kendati pertanyaannya tidak langsung terjawab, rasa ingin tahunya tetap berkembang.

Menurut Vera, yang harus diusahakan adalah jangan sampai pertanyaan anak tidak terjawab. Pertanyaan yang tidak terjawab akan meninggalkan kebutuhan yang harus dipenuhi. Kalau sudah begini ia akan terus mencari pemenuhan atas kebutuhan tersebut. "Nah, daripada ia menemukan pemenuhan tersebut dari sumber-sumber yang tidak jelas dan belum tentu benar, sebaiknya anak memperoleh apa yang ia butuhkan dari orang tuanya."

BILA SIKAP KRITIS DITANGGAPI POSITIF

Bila orang tua selalu mengakomodasi keingintahuan anak, menurut Vera ada beberapa dampak positif yang bakal didapatnya:

  1. Rasa ingin tahunya terus berkembang dan ini akan menguatkan motivasinya untuk terus mempelajari hal-hal baru. Termasuk pelajaran di sekolah, hingga ia terlihat penuh semangat.
  2. Tumbuh menjadi pribadi yang penuh percaya diri karena merasa diterima oleh orang tua/lingkungan terdekatnya.
  3. Ketajaman berpikirnya semakin terasah.
  4. Memperoleh kesempatan untuk menambah kosakata baru yang didapatnya dari pertanyaan yang diajukan sekaligus memperluas wawasannya.

BILA DITANGGAPI NEGATIF

Tanggapan yang tidak bijaksana terhadap sikap kritis anak hanya akan melahirkan beberapa dampak merugikan. Berikut uraian Vera:

  1. Mematikan kreativitas dan rasa ingin tahu anak. Dengan begitu, ia tidak lagi terdorong untuk menggali hal-hal baru yang ditemuinya. Semua diterima secara pasif sebagaimana adanya.
  2. Anak jadi kurang percaya diri karena merasa selalu disalahkan dan dianggap sebagai pengganggu.
  3. Anak akan tumbuh jadi orang yang cenderung memilih diam. Baginya diam berarti "aman" dan membuatnya terhindar dari berbagai kesulitan.
  4. Anak jadi frustrasi karena kebutuhannya tidak terpenuhi.
  5. Anak terdorong untuk mencari sumber lain yang belum tentu benar guna memenuhi kebutuhannya yang tidak terpenuhi dari orang tua.
  6. Merenggangkan hubungan anak dengan orang tua. Anak enggan terbuka pada orang tua karena menganggap orang tuanya kurang kompeten, minimal enggak asyik diajak "ngobrol".

AGAR ANAK KRITIS

Seperti telah dikatakan Vera, sikap kritis seseorang tidak berbanding lurus dengan tingkat kecerdasannya. Beberapa hal berikut bisa dilakukan orang tua untuk merangsang sikap kritis anak.

  1. Berikan kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk mengemukakan buah pikirannya maupun urun pendapat. Hilangkan budaya dimana "apa kata mama/papa" merupakan sesuatu yang mutlak alias tak bisa ditawar.
  2. Latih anak untuk memecahkan masalah-masalah keseharian sesuai dengan tahapan usianya. Lontarkan pertanyaan-pertanyaan yang merangsangnya untuk menemukan solusi. Contohnya ketika anak berniat main di luar rumah, tanyakan, "Bagaimana, ya, caranya memindahkan mainan sekaligus dari kamar ke pekarangan?"
  3. Berikan kesempatan seluasnya pada anak untuk menemukan hal-hal baru. Bisa tempat yang belum pernah dikunjungi, buku atau sarana lainnya. Lalu biarkan anak menggali pertanyaan tentang hal-hal baru tersebut.
  4. Ada jenis percakapan yang dapat membantu merangsang sikap kritis anak, yakni:
    1. Membicarakan suatu hal dari sisi baik dan buruknya.
    2. Ajak anak berandai-andai menjadi orang lain.
    3. Libatkan anak membicarakan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu kejadian. Contohnya, "Apa ya yang kira-kira terjadi kalau hujan enggak berhenti selama berhari-hari?"

Sumber : Tabloid nakita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Previous Post Next Post Back to Top

05 April 2009

Menyikapi Anak Kritis

Anda tentu pernah menyaksikan iklan susu di layar kaca yang terasa sangat menggelitik. Digambarkan seorang bocah perempuan yang sedang menemani ayahnya nonton pertandingan sepak bola antara kesebelasan Jerman dan Brasil di televisi. Tak habis-habisnya si anak mengajukan pertanyaan tajam. Begitu melihat wasit mengenakan kostum yang berbeda dari para pemain, ia menanggapi, "Wasit itu temennya Jerman atau Brasil?" Lalu, saat ayahnya sibuk menjawab, ia terus mengejar dengan pertanyaan lain, "Jadi, Jerman sama Brasil itu jauh mana?"

Anda pasti akan geleng-geleng kepala menyaksikan ulah si anak kritis. Padahal, tukas Vera Itabiliana, Psi., geleng-geleng kepala saja tidak cuku, lo. "Orang tua harus bijak menghadapi anak seperti ini, sebab kalau sampai salah penanganan, kasihan anaknya," ujar psikolog dari Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Jakarta.

TIDAK TERGANTUNG TINGKAT KECERDASAN

Sebelum bicara lebih jauh, ada baiknya dipahami dulu mengapa ada anak yang cenderung bersikap kritis dan ada juga yang tidak. "Sikap kritis ini biasanya dominan saat anak berusia tiga tahun lebih. Di usia ini rasa ingin tahu anak sedang meluap-luap," ujar Vera. Kritis atau tidaknya seorang anak, sama sekali tidak tergantung pada tingkat kecerdasan. Bisa saja anak dengan taraf kecerdasan rata-rata lebih kritis dibanding anak dengan taraf kecerdasan jauh di atas rata-rata. "Yang paling menentukan adalah lingkungan di mana si anak dibesarkan. Dalam hal ini lingkungan keluarganya. Anak yang kritis biasanya adalah anak yang mendapat keleluasaan untuk mengemukakan pendapat. Si anak bebas mengeluarkan pendapatnya tanpa takut 'dibantai' atau dimarahi," lanjut Vera.

Selain itu, banyaknya rangsangan dari luar juga dapat membantu anak mempertajam kemampuan berpikirnya. Rangsangan dari luar ini dapat berupa informasi mengenai berbagai hal di lingkungannya. Informasi ini dapat diberikan oleh orang tua secara aktif melalui berbagai media, seperti buku, televisi, rekreasi ke tempat baru, dan sebagainya. Orang tua bisa membacakan cerita, menerangkan tentang tempat yang dikunjungi atau apa saja yang ditemui di lingkungan sekitar. Dengan begitu, diharapkan anak dapat terpancing untuk bertanya, karena bertanya merupakan salah satu dari wujud berpikir kritis, demikian Vera menggarisbawahi.

BAGAIMANA MENYIKAPINYA?

Jadi, kunci sikap kritis anak ada pada orang tua. Vera menyingkatnya dalam enam langkah agar daya kritis anak makin terasah.

  1. Kesabaran

    Kesabaran orang tua boleh dibilang memegang peran terpenting. Tanpa kesabaran, orang tua akan gampang bosan menjawab pertanyaan kritis anaknya. Padahal bukankah kebosanan menjawab identik dengan memadamkan hasrat anak untuk bertanya dan tahu lebih banyak?

  2. Kesiapan

    Mau tidak mau orang tua memang dituntut untuk harus selalu siap menghadapi reaksi anak mengenai berbagai hal yang sedang dilihat/dibaca/didengarnya. Dengan demikian, orang tua tidak akan merasa terkejut atau terganggu oleh sikap kritis anak karena bisa mengantisipasi sebelumnya.

  3. Sepakati Aturan Main

    Ketika akan bepergian ke suatu tempat baru atau melakukan kegiatan yang melibatkan banyak orang, semisal arisan, bank/kantor, pesta perkawinan, ada baiknya sepakati aturan main. Ini perlu karena bukan tidak mungkin sikap kritisnya akan "mengganggu". Ajak anak bicara tentang situasi yang akan ditemui dan perilaku seperti apa yang diharapkan darinya. Semisal tidak bertanya-tanya terus selagi orang lain bicara. Jika perlu, mintalah padanya untuk sementara waktu "menyimpan" pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, berjanjilah untuk membahasnya begitu sampai di rumah.

  4. Jangan Menunjukkan Respons Negatif

    Dalam hal ini, kemampuan orang tua untuk mengontrol dirinya sendiri memang diuji. Amat bijaksana bila orang tua tidak menunjukkan respons negatif atas sikap kritis anak, seperti marah atau kesal de-ngan membentak atau malah menyuruh anak diam. Tang- gapilah sikap kritis anak dengan positif. Tersenyumlah dan dengarkan pertanyaannya. Jika orang tua belum bisa menjawab pertanyaan tersebut saat itu juga, jangan sungkan untuk meminta anak menunggu Anda siap menjawabnya. Jangan lupa juga untuk menjelaskan kenapa pertanyaan tersebut belum bisa dijawab. Contohnya, "Wah... pertanyaanmu bagus banget. Mama senang sekali menjawabnya. Tapi sekarang Mama lagi sibuk masak. Gimana kalau Mama jawabnya nanti saja setelah masakannya matang. Soalnya kalau Mama enggak konsentrasi, nanti masakannya bisa gosong dan rasanya jadi tidak enak. Setuju?"

    Bisa juga orang tua menjawab 1-2 pertanyaan anak. Jika ia masih bertanya terus, jelas- kan kondisi orang tua yang sedang tidak memungkinkan untuk melayaninya. Tentukan kapan waktu yang dirasa pas untuk melanjutkan "diskusi" tersebut.

  5. Dengarkan Baik-baik

    Sebelum menjawab, dengarkan baik-baik dan pahami benar apa yang ditanyakan anak. Bahkan kalau perlu ajukan pertanyaan balik agar jawaban benar-benar memenuhi kebutuhan anak, selain untuk menghindari salah paham. Soalnya, pengertian/istilah tertentu bisa saja diartikan berbeda oleh anak. Misal, "pacaran" bagi anak adalah jalan bareng sambil berpegangan tangan yang tentu saja berbeda dengan pemahaman orang dewasa.

  6. Arahkan pada Penemuan Jawaban

    Untuk lebih melatih ketajaman berpikir anak, orang tua sebaiknya membimbing anaknya untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Caranya? Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada penemuan jawaban.

CUKUP JAWABAN SEDERHANA

Adakalanya pertanyaan anak kritis membuat orang tua gelagapan tak tahu harus menjawab apa yang ditanyakan si anak. "Ayah, CD (compact disc) itu terbuat dari apa, sih? Kok, dari benda setipis ini bisa keluar gambar di teve?" Tak banyak orang tua yang memahami hal-hal yang berbau teknologi canggih seperti itu. Menghadapi pertanyaan rumit seperti ini sebaiknya orang tua tetap mencoba menjawab.

"Serumit apa pun pertanyaan anak, belum tentu membutuhkan jawaban yang tak kalah rumit," tandas Vera. Pemikiran anak yang masih sederhana bisa terpenuhi dengan penjelasan yang menggunakan bahasa sederhana. Sederhana di sini tentu saja bukan jawaban yang asal-asalan. Untuk memudahkan, berilah ia perumpamaan dengan hal-hal yang dekat dengan kesehariannya. Kalaupun pertanyaannya terlalu sulit dan orang tua tidak bisa menjawab, "Sebaiknya berterus terang saja," saran Vera. Namun jangan puas untuk berhenti sampai di situ saja. Orang tua haruslah menawarkan alternatif solusi bagaimana jawaban atas pertanyaan itu bisa diperoleh.

Contohnya, "Wah, terus terang Papa belum tahu jawabannya. Bagaimana kalau kita cari sama-sama jawabannya di kamus atau ensiklopedi?" Atau, "Sayang sekali, ya, Mama enggak tahu jawabannya. Tapi nanti di kantor Mama coba tanya-tanya ke teman Mama atau Mama cari di internet, deh. Mudah-mudahan besok Mama sudah dapat jawabannya." Dengan demikian anak akan belajar memahami bahwa ketidaktahuan merupakan hal yang wajar. Selain itu, ia juga bisa mengerti bahwa seseorang yang tidak tahu dapat menjadi tahu dengan cara bertanya pada orang yang lebih tahu atau mencari jawabannya di buku pintar. Dengan demikian, kendati pertanyaannya tidak langsung terjawab, rasa ingin tahunya tetap berkembang.

Menurut Vera, yang harus diusahakan adalah jangan sampai pertanyaan anak tidak terjawab. Pertanyaan yang tidak terjawab akan meninggalkan kebutuhan yang harus dipenuhi. Kalau sudah begini ia akan terus mencari pemenuhan atas kebutuhan tersebut. "Nah, daripada ia menemukan pemenuhan tersebut dari sumber-sumber yang tidak jelas dan belum tentu benar, sebaiknya anak memperoleh apa yang ia butuhkan dari orang tuanya."

BILA SIKAP KRITIS DITANGGAPI POSITIF

Bila orang tua selalu mengakomodasi keingintahuan anak, menurut Vera ada beberapa dampak positif yang bakal didapatnya:

  1. Rasa ingin tahunya terus berkembang dan ini akan menguatkan motivasinya untuk terus mempelajari hal-hal baru. Termasuk pelajaran di sekolah, hingga ia terlihat penuh semangat.
  2. Tumbuh menjadi pribadi yang penuh percaya diri karena merasa diterima oleh orang tua/lingkungan terdekatnya.
  3. Ketajaman berpikirnya semakin terasah.
  4. Memperoleh kesempatan untuk menambah kosakata baru yang didapatnya dari pertanyaan yang diajukan sekaligus memperluas wawasannya.

BILA DITANGGAPI NEGATIF

Tanggapan yang tidak bijaksana terhadap sikap kritis anak hanya akan melahirkan beberapa dampak merugikan. Berikut uraian Vera:

  1. Mematikan kreativitas dan rasa ingin tahu anak. Dengan begitu, ia tidak lagi terdorong untuk menggali hal-hal baru yang ditemuinya. Semua diterima secara pasif sebagaimana adanya.
  2. Anak jadi kurang percaya diri karena merasa selalu disalahkan dan dianggap sebagai pengganggu.
  3. Anak akan tumbuh jadi orang yang cenderung memilih diam. Baginya diam berarti "aman" dan membuatnya terhindar dari berbagai kesulitan.
  4. Anak jadi frustrasi karena kebutuhannya tidak terpenuhi.
  5. Anak terdorong untuk mencari sumber lain yang belum tentu benar guna memenuhi kebutuhannya yang tidak terpenuhi dari orang tua.
  6. Merenggangkan hubungan anak dengan orang tua. Anak enggan terbuka pada orang tua karena menganggap orang tuanya kurang kompeten, minimal enggak asyik diajak "ngobrol".

AGAR ANAK KRITIS

Seperti telah dikatakan Vera, sikap kritis seseorang tidak berbanding lurus dengan tingkat kecerdasannya. Beberapa hal berikut bisa dilakukan orang tua untuk merangsang sikap kritis anak.

  1. Berikan kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk mengemukakan buah pikirannya maupun urun pendapat. Hilangkan budaya dimana "apa kata mama/papa" merupakan sesuatu yang mutlak alias tak bisa ditawar.
  2. Latih anak untuk memecahkan masalah-masalah keseharian sesuai dengan tahapan usianya. Lontarkan pertanyaan-pertanyaan yang merangsangnya untuk menemukan solusi. Contohnya ketika anak berniat main di luar rumah, tanyakan, "Bagaimana, ya, caranya memindahkan mainan sekaligus dari kamar ke pekarangan?"
  3. Berikan kesempatan seluasnya pada anak untuk menemukan hal-hal baru. Bisa tempat yang belum pernah dikunjungi, buku atau sarana lainnya. Lalu biarkan anak menggali pertanyaan tentang hal-hal baru tersebut.
  4. Ada jenis percakapan yang dapat membantu merangsang sikap kritis anak, yakni:
    1. Membicarakan suatu hal dari sisi baik dan buruknya.
    2. Ajak anak berandai-andai menjadi orang lain.
    3. Libatkan anak membicarakan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu kejadian. Contohnya, "Apa ya yang kira-kira terjadi kalau hujan enggak berhenti selama berhari-hari?"

Sumber : Tabloid nakita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar