05 April 2009

5 LANGKAH AGAR ANAK TAK "SERAKAH"

Tak mau satu, maunya semua! Apa yang harus dilakukan orangtua agar perilaku ini tak keterusan? Suatu sore di hari libur, Immy membuat kue kesukaan anaknya, Bian (4). Begitu selesai, satu stoples berisi kue itu langsung dibawa sang bocah ke kamarnya. "Lo, kok, Mama dan Papa enggak dibagi kuenya, Sayang?" tanya Immy. "Enggak ah. Aku mau semuanya!" Begitu pun di sekolah. Ketika itu ada kegiatan menggambar. Saat guru membagikan satu batang pensil warna untuk masing-masing anak.

Ya, si prasekolah kadang suka berlaku "serakah", tidak mau berbagi dengan teman-teman, adik, bahkan orangtuanya sendiri. Perilakunya malah terkesan egois, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepadanya harus lebih banyak dari yang lain, kalau perlu mendapatkan semuanya. Dia akan merasa bangga karena melebihi yang lain, misalnya, "Ayo lihat nih, aku punya tiga pensil warna. Kamu cuma dapat satu!" Jadi, ada keinginan dalam dirinya untuk mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang banyak.

Menurut Sani B. Hermawan, Psi., dalam diri si prasekolah ini, berkembang konsep pemahaman bahwa ingin punya sesuatu dalam jumlah banyak. Dengan kata lain, dia masih cenderung mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas. Maka bila mendapatkan jumlah yang lebih banyak, dia pun merasa ada kepuasan. "Di sisi lain, pada dasarnya dalam diri anak ada kebutuhan untuk memuaskan diri dengan cara memiliki atau mendapatkan benda atau apa pun sebanyak-banyaknya," kata Direktur Lembaga Pelatihan Daya Insani, Jakarta ini. Perilaku si prasekolah selain tampak "serakah", juga mau menang sendiri, egois dan sederet label negatif lainya. Sifat individualnya masih sangat dominan sehingga apa pun yang dilakukannya masih terpusat pada dirinya sendiri. Alhasil, ketika diberikan sesuatu, dia malah ingin semuanya.

Dalam hal ini, lingkungan sangat memengaruhi perilakunya yang cenderung "serakah" itu. Misalnya, orangtua yang memberi sesuatu selalu banyak atau berlebihan demi membuat anak merasa puas, entah itu makanan, mainan atau hal lainnya. Dengan begitu, anak akan memersepsikan bahwa sesuatu yang banyak itu memang menyenangkan. Contoh, suatu saat sang ayah memberi hadiah pada si prasekolah mainan tertentu. Akan tetapi, di saat yang sama, ibunya pun memberikan mainan. Lantaran itu, si prasekolah pun tak mendapatkan pelajaran atau suatu pengalaman mengenai "apa yang ia dapatkan" tetapi yang ditangkapnya adalah "berapa banyak yang aku dapatkan". Maka tak perlu heran bila kemudian si prasekolah selalu minta sesuatu dalam jumlah banyak.

5 LANGKAH

Nah, perilaku "serakah" tentu tak boleh dibiarkan, bukan? Soalnya, bila tak diantisipasi akan mengganggu proses sosialisasinya. Bisa saja kemudian ia dijauhi temannya atau menjadi bulan-bulanan di antara teman-teman. Mumpung hal itu belum terjadi, maka sebagai upaya antisipasinya, lakukan beberapa hal berikut ini:

  1. Beri penjelasan

    Jelaskan pada anak bahwa bukan hanya soal jumlah atau banyaknya yang dia dapat, akan tetapi maknanya. Misalnya, ketika guru memberikan masing-masing satu pensil warna dan satu kertas gambar, berarti semuanya itu sama, tak ada yang dibedakan.

  2. Ajarkan berbagi

    Meski anak usia prasekolah sudah mengetahui konsep berbagi, tapi tak semuanya sudah memahami dengan baik. Jadi perlu terus diajarkan mengenai konsep berbagi ini. Umpamanya, dalam konteks yang sederhana, ketika di sekolah, ajarkan untuk mau berbagi bekal atau kue yang dibawanya dari rumah kepada temannya. Pesankan sebelum berangkat sekolah, "Sayang, Ibu bawakan kamu bekal yang cukup banyak. Nah, nanti di sekolah kamu bagi-bagi sama teman ya." Tak ketinggalan, pesan moral dari konsep berbagi ini, misalnya, "Kalau kamu suka memberi teman, kamu akan disenangi teman."

    Nah, dengan seringnya belajar berbagi, lama-kelamaan dia akan terlatih pula untuk tidak menjadi "serakah" lagi. Kemudian, bila anak masih belum mau meminjamkan mainannya, cukup katakan bahwa temannya akan merasa senang bila ia mau meminjamkan mainannya. Atau temannya akan merasa sedih kalau tidak dibolehkan mencicipi makanan miliknya. Dengan begitu, si prasekolah pun belajar untuk berempati pada orang lain.

  3. Konsisten

    Orangtua sebaiknya bersikap konsisten untuk tidak memberi anak sesuatu secara berlebihan. Boleh jadi si prasekolah jadi uring-uringan atau terus merengek lantaran kemauannya untuk mendapatkan sesuatu dalam jumlah banyak tak terpenuhi. Sekali lagi, kita harus tetap konsisten. Kalau kita "mengalah", justru itu akan dijadikan senjata oleh anak di kemudian hari. Jadi, dalam masa pembelajaran ini, sebaiknya kita tak selalu menuruti kemauannya yang cenderung berlebihan.

  4. Dukungan lingkungan

    Kalaupun anak mulai mau belajar untuk tidak "serakah" lagi, akan tetapi bila lingkungannya tak mendukung, ya tentu sikap buruknya itu akan sulit diubah. Contoh dari orangtua pun sangat besar pengaruhnya. Tradisi bertukar bingkisan atau makanan dengan tetangga atau bersedekah kepada peminta-minta menjadi contoh yang lambat-laun ikut mengikis sikap serakah dalam dirinya.

    Akan tetapi, boleh jadi, si prasekolah sulit untuk meninggalkan perilaku "serakah"nya itu. Soalnya, sesuatu yang dimilikinya itu seolah merupakan bagian dari dirinya. Maka, untuk menghadapi hal ini orangtua perlu usaha yang lebih giat untuk memberi pengertian dan penjelasan pada si prasekolah. Memang, jangan berharap si prasekolah langsung bisa memahami maksud kita. Begitu pun kita tak boleh memaksa anak untuk mau berbagi, karena justru hasilnya takkan maksimal. Toh, secara naluri, tiap orang termasuk anak-anak sebenarnya memiliki kemampuan untuk mau memberi, berbagi dan menolong orang lain. tinggal bagaimana kita mengasah kemampuannya itu.

  5. Jangan beri label

    Poin terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah jangan sampai si prasekolah dijuluki si "serakah" atau si "pelit". Jadi sebaiknya hindari pelabelan seperti itu. Pasalnya, kata-kata ini justru akan membuatnya merasa disalahkan atau tak berharga. Perlu diketahui, pada dasarnya ia memang belum paham mengenai perilaku apa yang diharapkan, lantaran masih memandang dirinya sebagai orang yang paling penting. Ini karena dia masih bersikap egosentris. Jadi sekali lagi, jangan sampai menggunakan julukan yang menyudutkan si kecil.

    Sumber : tabloid-nakita.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Previous Post Next Post Back to Top

05 April 2009

5 LANGKAH AGAR ANAK TAK "SERAKAH"

Tak mau satu, maunya semua! Apa yang harus dilakukan orangtua agar perilaku ini tak keterusan? Suatu sore di hari libur, Immy membuat kue kesukaan anaknya, Bian (4). Begitu selesai, satu stoples berisi kue itu langsung dibawa sang bocah ke kamarnya. "Lo, kok, Mama dan Papa enggak dibagi kuenya, Sayang?" tanya Immy. "Enggak ah. Aku mau semuanya!" Begitu pun di sekolah. Ketika itu ada kegiatan menggambar. Saat guru membagikan satu batang pensil warna untuk masing-masing anak.

Ya, si prasekolah kadang suka berlaku "serakah", tidak mau berbagi dengan teman-teman, adik, bahkan orangtuanya sendiri. Perilakunya malah terkesan egois, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepadanya harus lebih banyak dari yang lain, kalau perlu mendapatkan semuanya. Dia akan merasa bangga karena melebihi yang lain, misalnya, "Ayo lihat nih, aku punya tiga pensil warna. Kamu cuma dapat satu!" Jadi, ada keinginan dalam dirinya untuk mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang banyak.

Menurut Sani B. Hermawan, Psi., dalam diri si prasekolah ini, berkembang konsep pemahaman bahwa ingin punya sesuatu dalam jumlah banyak. Dengan kata lain, dia masih cenderung mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas. Maka bila mendapatkan jumlah yang lebih banyak, dia pun merasa ada kepuasan. "Di sisi lain, pada dasarnya dalam diri anak ada kebutuhan untuk memuaskan diri dengan cara memiliki atau mendapatkan benda atau apa pun sebanyak-banyaknya," kata Direktur Lembaga Pelatihan Daya Insani, Jakarta ini. Perilaku si prasekolah selain tampak "serakah", juga mau menang sendiri, egois dan sederet label negatif lainya. Sifat individualnya masih sangat dominan sehingga apa pun yang dilakukannya masih terpusat pada dirinya sendiri. Alhasil, ketika diberikan sesuatu, dia malah ingin semuanya.

Dalam hal ini, lingkungan sangat memengaruhi perilakunya yang cenderung "serakah" itu. Misalnya, orangtua yang memberi sesuatu selalu banyak atau berlebihan demi membuat anak merasa puas, entah itu makanan, mainan atau hal lainnya. Dengan begitu, anak akan memersepsikan bahwa sesuatu yang banyak itu memang menyenangkan. Contoh, suatu saat sang ayah memberi hadiah pada si prasekolah mainan tertentu. Akan tetapi, di saat yang sama, ibunya pun memberikan mainan. Lantaran itu, si prasekolah pun tak mendapatkan pelajaran atau suatu pengalaman mengenai "apa yang ia dapatkan" tetapi yang ditangkapnya adalah "berapa banyak yang aku dapatkan". Maka tak perlu heran bila kemudian si prasekolah selalu minta sesuatu dalam jumlah banyak.

5 LANGKAH

Nah, perilaku "serakah" tentu tak boleh dibiarkan, bukan? Soalnya, bila tak diantisipasi akan mengganggu proses sosialisasinya. Bisa saja kemudian ia dijauhi temannya atau menjadi bulan-bulanan di antara teman-teman. Mumpung hal itu belum terjadi, maka sebagai upaya antisipasinya, lakukan beberapa hal berikut ini:

  1. Beri penjelasan

    Jelaskan pada anak bahwa bukan hanya soal jumlah atau banyaknya yang dia dapat, akan tetapi maknanya. Misalnya, ketika guru memberikan masing-masing satu pensil warna dan satu kertas gambar, berarti semuanya itu sama, tak ada yang dibedakan.

  2. Ajarkan berbagi

    Meski anak usia prasekolah sudah mengetahui konsep berbagi, tapi tak semuanya sudah memahami dengan baik. Jadi perlu terus diajarkan mengenai konsep berbagi ini. Umpamanya, dalam konteks yang sederhana, ketika di sekolah, ajarkan untuk mau berbagi bekal atau kue yang dibawanya dari rumah kepada temannya. Pesankan sebelum berangkat sekolah, "Sayang, Ibu bawakan kamu bekal yang cukup banyak. Nah, nanti di sekolah kamu bagi-bagi sama teman ya." Tak ketinggalan, pesan moral dari konsep berbagi ini, misalnya, "Kalau kamu suka memberi teman, kamu akan disenangi teman."

    Nah, dengan seringnya belajar berbagi, lama-kelamaan dia akan terlatih pula untuk tidak menjadi "serakah" lagi. Kemudian, bila anak masih belum mau meminjamkan mainannya, cukup katakan bahwa temannya akan merasa senang bila ia mau meminjamkan mainannya. Atau temannya akan merasa sedih kalau tidak dibolehkan mencicipi makanan miliknya. Dengan begitu, si prasekolah pun belajar untuk berempati pada orang lain.

  3. Konsisten

    Orangtua sebaiknya bersikap konsisten untuk tidak memberi anak sesuatu secara berlebihan. Boleh jadi si prasekolah jadi uring-uringan atau terus merengek lantaran kemauannya untuk mendapatkan sesuatu dalam jumlah banyak tak terpenuhi. Sekali lagi, kita harus tetap konsisten. Kalau kita "mengalah", justru itu akan dijadikan senjata oleh anak di kemudian hari. Jadi, dalam masa pembelajaran ini, sebaiknya kita tak selalu menuruti kemauannya yang cenderung berlebihan.

  4. Dukungan lingkungan

    Kalaupun anak mulai mau belajar untuk tidak "serakah" lagi, akan tetapi bila lingkungannya tak mendukung, ya tentu sikap buruknya itu akan sulit diubah. Contoh dari orangtua pun sangat besar pengaruhnya. Tradisi bertukar bingkisan atau makanan dengan tetangga atau bersedekah kepada peminta-minta menjadi contoh yang lambat-laun ikut mengikis sikap serakah dalam dirinya.

    Akan tetapi, boleh jadi, si prasekolah sulit untuk meninggalkan perilaku "serakah"nya itu. Soalnya, sesuatu yang dimilikinya itu seolah merupakan bagian dari dirinya. Maka, untuk menghadapi hal ini orangtua perlu usaha yang lebih giat untuk memberi pengertian dan penjelasan pada si prasekolah. Memang, jangan berharap si prasekolah langsung bisa memahami maksud kita. Begitu pun kita tak boleh memaksa anak untuk mau berbagi, karena justru hasilnya takkan maksimal. Toh, secara naluri, tiap orang termasuk anak-anak sebenarnya memiliki kemampuan untuk mau memberi, berbagi dan menolong orang lain. tinggal bagaimana kita mengasah kemampuannya itu.

  5. Jangan beri label

    Poin terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah jangan sampai si prasekolah dijuluki si "serakah" atau si "pelit". Jadi sebaiknya hindari pelabelan seperti itu. Pasalnya, kata-kata ini justru akan membuatnya merasa disalahkan atau tak berharga. Perlu diketahui, pada dasarnya ia memang belum paham mengenai perilaku apa yang diharapkan, lantaran masih memandang dirinya sebagai orang yang paling penting. Ini karena dia masih bersikap egosentris. Jadi sekali lagi, jangan sampai menggunakan julukan yang menyudutkan si kecil.

    Sumber : tabloid-nakita.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar